Empat Keriaan di Erasmus Huis
Bagi saya, menonton (apapun embel-embel kata di belakangnya), merupakan
sebuah perayaan yang sebaiknya dinikmati bersama. Tapi hari itu lain. Pada hari
itu untuk pertama kalinya saya menonton film sendirian gara-gara partner yang
jauh-jauh hari sudah berjanjian, mendadak harus masuk kerja. Mencoba ikhtiar
dengan mengajak teman yang lain lagi, ternyata dia juga punya kepentingan yang
sama; mendadak masuk kerja. Karena memang sudah niat sepenuh hati ingin
menonton Europe on Screen dan listrik
di daerah kosan saya mati pada hari itu, akhirnya saya nekat berangkat nonton
sendiri. Inilah salah satu bukti bagaimana semesta mendukung.
EoS 2016 ini adalah Europe on
Screen tahun ke-dua saya. Cukup newbie
memang, jika dibandingkan dengan Mbak Afid yang sudah tahun ke-delapan menyaksikan
event tahunan ini. Saya yang memang sewaktu
tinggal di Semarang tak terlalu mengikuti event-event festival film, akhirnya
perlahan-lahan menanti-nanti kedatangan bulan April-Mei dari tahun ke tahun
semenjak tinggal di Ibukota kejam kesayangan.
Untuk menuju ke Erasmus Huis, saya cukup berjalan kaki dari kos menuju
halte Trans Jakarta – Naik Trans Jakarta lalu turun di Halte Kuningan Barat –
Berjalan kaki dari Halte Kuningan Barat ke Kuningan Timur – Lalu berjalan kaki
kurang lebih 5 menit menuju Erasmus Huis (dengan kecepatan jalan kaki standar
saya, yang kata teman-teman tergolong cepat :p). Jalanan Slipi menuju Rasuna
Said yang lengang pada hari itu membuat saya cukup menghabiskan waktu 30 menit
di perjalanan. Saya pun tiba tepat waktu, akan tetapi panitianya malah masih
sibuk bersiap-siap sehingga booth dibuka 15 menit lebih telat daripada waktu
yang seharusnya.
Setelah selesai melakukan registrasi, saya memutuskan untuk berkeliling
karena ini merupakan pengalaman pertama saya ke Erasmus Huis. Setidaknya ada
empat keriaan yang bisa saya dapatkan ketika berada di situ. Keempat hal itu
akan saya rangkum dalam postingan ini :)
1. Membawa Pulang Banyak Booklet
Ini adalah hobi baru saya semenjak tinggal di Jakarta.
Yup! Mengoleksi booklet dari berbagai macam acara, pameran, maupun tempat
wisata adalah salah satu hal sederhana yang membuat saya girang. Mungkin
sebagian orang berpendapat, “Ngapain sih
ngumpulin gitu-gituan? Menuh-menuhin rumah doang”. Tapi ternyata saya nggak
sendirian. Fariz, salah satu teman saya dari Jogja yang heboh ketika menelisik
isi kamar saya pernah bilang, “Kok kamu
sama persis kayak temenku sih, De? Hobinya ngumpulin kartu pos, booklet
perjalanan, dll”. Sepulang dari Europe on Screen, rak booklet saya langsung
penuh dan nggak ada ruang lagi untuk booklet-booklet yang lain!
![]() |
Rak booklet yang semakin penuh |
2. Pameran UtarakanJakarta
Terletak
di Amphitheater Erasmus Huis, pameran ini saya temukan ketika hendak shalat
Dzuhur di Musholla. Pameran yang dijalankan oleh Cynthia Boll, seorang fotografer
Belanda ini cukup unik dan sarat akan kritik. Selama 12 bulan, Cynthia
mendokumentasikan keseharian penduduk dan banjir di Jakarta. Isu akan
“Tenggelamnya Jakarta” bisa membuat penikmat karyanya menjadi meringis miris.
Berikut adalah beberapa gambar yang sempat saya abadikan. Oya, saya juga sempat
menuliskan quote opini pada dinding besar yang ada di pameran ini. Sewaktu menempelkan stikernya di
wall, mbak-mbak yang ada di sebelah saya langsung mengamini. “Amin ya, Mbak", katanya sambil
tersenyum.
![]() |
Instalasi-instalasi pada pameran #UtarakanJakarta |
![]() |
3D Visual Art - #UtarakanJakarta |
![]() |
Beberapa pengunjung sedang sibuk menuliskan opininya pada dinding yang tersedia |
![]() |
Stiker-stiker yang meminta ditulisi |
![]() |
My big wish :") |
3. Berkunjung ke Perpustakaan Erasmus Huis
Perpustakaan
ini saya temukan berkat info dari Pak Satpam. Ada 15.000 koleksi buku, termasuk karya sastra
Belanda, buku tentang Sejarah Indonesia, dan buku anak-anak di perpustakaan ini.
Selain itu, ada juga
sekitar 900 buah CD koleksi musik dari berbagai genre. What a treasure!
Jam buka:
Senin-Kamis:
09.00-16.00 WIB
Jumat: 14.00
Sabtu:
10.00-13.00 WIB
Biaya Keanggotaan:
·
Warga
Indonesia: biaya keanggotaan tahunan Rp. 30.000,-. Setiap anggota diperbolehkan
pinjam buku maksimum 3 buah eksemplar dengan waktu peminjaman 3 minggu. Jika
ingin meminjam 5 buku sekaligus, maka biaya keanggotaan tahunan berjumlah Rp.
60.000,-.
·
Mahasiswa
Indonesia: biaya keanggotaan tahunan Rp. 15.000,-. Setiap anggota diperbolehkan
pinjam buku maksimum 3 buah eksemplar dengan waktu peminjaman 3 minggu. Jika
ingin meminjam 5 buku sekaligus, maka biaya keanggotaan tahunan berjumlah Rp.
30.000,-.
·
Warga asing:
biaya keanggotaan tahunan Rp. 60.000,-. Setiap anggota diperbolehkan pinjam
buku maksimum 3 buah eksemplar dengan waktu peminjaman 3 minggu. Jika ingin
meminjam 5 buku sekaligus, maka biaya keanggotaan tahunan berjumlah Rp.
120.000,-.
·
Mahasiswa
asing: biaya keanggotaan tahunan Rp. 40.000,-. Setiap anggota diperbolehkan
pinjam buku maksimum 3 buah eksemplar dengan waktu peminjaman 3 minggu. Jika
ingin meminjam 5 buku sekaligus, maka biaya keanggotaan tahunan berjumlah Rp.
80.000,-. (Sumber: web resmi erasmus huis).
Anyway murah banget sih cuma biaya
keanggotaannya. Tapi karena saya baru beli beberapa buku yang masih teronggok
di kamar kosan, jadi saya memutuskan untuk tak impulsif membuat kartu
keanggotaan dulu.
4. Menonton Film di Europe on
Screen
Berbeda
dengan tiga keriaan sebelumnya yang saya dapatkan secara spontan di Erasmus
Huis, keriaan yang ke-empat ini merupakan keriaan utama yang menjadi tujuan
saya. Di film pertama saya duduk di sebelah ibu-ibu yang juga datang sendirian.
Beruntungnya saya mendapat tempat favorit saya untuk menonton festival film: di
row paling pinggir, dekat dengan
jalan, tepat di tengah-tengah layar. Satu-satunya alasan mengapa saya menyukai row dekat jalan adalah agar pandangan
tidak terlalu terhalang oleh penonton lain.
Karena
film yang saya tonton ini adalah film keluarga, cukup banyak yang datang
membawa anak-anaknya. Saya sendiri cukup iri dengan ibu-ibu dan anak-anaknya
yang duduk di belakang saya. Sejak sebelum film diputar, mereka membicarakan
tentang event-event kebudayaan yang ada di IFI, Goethe, dll. Oke fix, nambahin #Lifegoal: punya keluarga indie yang
lebih suka menghabiskan waktu menonton event-event kebudayaan/festival
ketimbang nge-mall.
Pada
film yang ke-dua, saya juga duduk diapit oleh mas-mas yang dua-duanya datang
sendirian. Sayangnya saya nggak dapet tempat duduk yang dekat dengan jalan.
Jadi mau tak mau saya harus mendongokkan kepala ke kiri dan kanan ketika layar
terhalang oleh penonton lain.
By the way, saya juga ingin membagikan cerita tentang dua film ini buat kamu yang
belum sempat menonton. Dua-duanya worth
to watch karena bisa memberikan nilai positif buat diri kita.
![]() |
Two tickets of mine :) |
·
Italo
Barocco
Italia, 2014,
Biography-Comedy, 104 menit
Film keluarga ini dibuat berdasarkan kisah nyata oleh
sutradara Alessia Scarso, yang pada siang itu juga hadir saat pemutaran
filmnya. Sejak awal membaca reviewnya di website Europe On Screen, saya yang memang memang paling nggak tahan buat
menangis kalau menonton film/berita tentang hewan, punya firasat bahwa saya
akan menangis ketika menonton filmnya. Endingnya, hal itu beneran kejadian.
Saya bahkan masih sesenggukan ketika sutradaranya maju ke podium untuk
menyelenggarakan sesi Q&A.
Pada siang itu, saya tidak melihat Italo hanya sebagai
seekor anjing, tapi lebih sebagai malaikat. Anjing yang selalu bergegas ke
gereja setiap mendengar bunyi lonceng, anjing yang dengan setia menemani
pegawai bar pulang kerja setiap tengah malam agar tak diganggu preman, anjing
yang dengan mulianya menghadiri setiap acara pernikahan/pemakaman, anjing yang
selalu bersabar menemani kakek tua menunggu istrinya di stasiun, serta anjing
yang dengan on time-nya menunggu Meno (anak walikota) setiap pulang sekolah.
Betapa anjing liar yang tadinya dipermasalahkan oleh warga dusun di Sisilia
kini menjadi pahlawan bagi warganya. Berkat Italo pula, Meno (anak walikota
yang pendiam dan tak suka berteman) kini menjadi lebih terbuka dan memperoleh
banyak kawan.
·
Two Days,
One Night
Belgium, 2014,
Comedy-Drama, 95 menit
Film ini bercerita tenang Sandra, wanita yang telah
menikah dan mempunyai dua orang anak. Selama cuti sakit, mayoritas rekan
kerjanya memilih agar Sandra diberhentikan kerja agar mereka mendapatkan bonus
tahunan. Penonton pun disajikan petualangan Sandra yang mendatangi rumah setiap
rekan-rekan kerjanya selama dua hari.
Melihat ekspresi Sandra yang tabah menghadapi setiap
penolakan teman-temannya, dan rasa bahagia ketika tetap ada beberapa rekan
kerjanya mendukung, setidaknya memberikan hikmah positif bagi saya atau mungkin
juga penonton yang ada di ruangan. Saya jadi sadar bahwa kerja tidak hanya
melulu soal bekerja dan mendapatkan uang untuk kepentingan pribadi. Ada baiknya
kita juga menjadi makhluk sosial di dalam kantor. Jika saya menjadi Sandra,
saya akan sangat bersyukur karena memiliki anak-anak, suami, dan teman-teman
yang sangat suportif. Sandra yang sempat ingin mengakhiri hidupnya dengan
menelan berpuluh-puluh butir Xanax pada akhirnya memperoleh kebahagiannya
kembali dengan cara yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Itu dia rangkuman empat keriaan
yang saya dapatkan selama berkunjung ke Erasmus Huis. Semoga bisa menjadi bahan
referensi buat kamu-kamu yang haus akan kunjungan-kunjungan kebudayaan. Semoga
kita masih bisa bertemu dengan event Europe
on Screen tahun depan!
What an inspiring article :)
BalasHapusThank youu :)
Hapus