Bermain Korelasi (Part 1)
Layaknya sebuah film, hidup ini penuh sama korelasi-korelasi yang diciptakan sedemikian rupa hingga seringnya kita lewati tanpa disadari. Saya sendiri termasuk tipe yang kadang-peka dan kadang-nggak sama hal semacam itu. Terkadang kepikiran dari hasil lamunan dan renungan sih, tapi kalau lagi “bodo amat” mau dikasih kode sekeras apapun dari semesta juga nggak bakal kegubris.
Contoh korelasi yang saya dapetin dari hasil lamunan adalah
dua film yang saya tonton di bulan Februari. Hmm cukup lama juga ya, perlu dua
bulan berselang hingga saya baru ngeh
hal-hal yang bisa ditarik jadi benang merah. Di bulan itu saya menonton film
festival “Like Someone in Love” dan “Lovely Man” yang punya pesan yang sama “Terkadang terlalu dalam mengetahui
kehidupan seseorang bisa membuat dirimu terluka”.
Like Someone in Love
Film Jepang yang berhasil masuk seleksi Cannes, Toronto
International Film Festival, dan New York Film Festival ini saya tonton pada 11
Februari di event Plaza Indonesia Film Festival. Kesan pertama yang saya
dapatkan ketika menonton film ini adalah: “Berasa ngeliat foto-fotonya Hamada
Hideaki di Instagram tapi versi bergerak!”
Filmnya diawali dengan adegan wanita penghibur (Akiko) yang
ogah-ogahan ketika bosnya menawari proyek untuk bertemu sosok penting yang
masih dirahasiakan. Taksi pun membawa Akiko menuju ke rumah sosok misterius itu
yang ternyata adalah seorang Professor Sosiologi di universitas dan jurusan
yang sama seperti yang Akiko ambil. Sungguh, awalnya saya berfikir bahwa Sang
Professor memanggil Akiko untuk menemaninya tidur, tapi ternyata dugaan saya
salah. Sang Professor (Takashi) ternyata hanya menginginkan makan malam bersama
karena Akiko mirip sekali dengan mantan istrinya.
Besok paginya Professor mengantarkan Akiko ke kampus. Na’asnya,
Noriyaki (pacar Akiko yang posesifnya minta ampun) sudah menunggu di gerbang.
Noriyaki yang memang sudah berhari-hari tidak mendapatkan kabar dari pacarnya
langsung marah-marah di depan banyak orang. Ketika Akiko masuk ke kelas,
Noriyaki memberanikan diri untuk masuk ke mobil Professor untuk berkenalan.
Professor akhirnya berbohong dan mengenalkan dirinya sebagai kakek Akiko. Lagipula,
siapa orang yang berani mengaku bahwa ia telah menyewa wanita semalaman kepada
pacarnya langsung?
Noriyaki pun bersikap baik kepada Professor karena ia
percaya bahwa ia adalah Kakek Akiko. Ia bahkan menawari Professor memperbaiki
mobilnya secara gratis di bengkelnya. Ketika sudah sampai di rumah dan siap beristirahat,
Professor mendapatkan telepon genting dari Akiko. Di scene ini lah saya sudah
punya firasat buruk terhadap nasib Professor. Ternyata betul. Noriyaki telah
mengetahui bahwa pacarnya itu berprofesi sebagai wanita penghibur dan Professor
adalah salah satu pelanggannya. Akiko yang terduduk lemas di parkiran mobil
dengan bibir yang berdarah pun dijemput Professor untuk dibawa pulang ke
rumahnya.
Sesampainya di rumah, pintu digedor dengan keras. Professor
sibuk mengunci pintu dan mengintipi jendela. Akiko panik sambil terus menangis.
Terdengar suara Noriyaki membentak-bentak menyuruh mereka berdua keluar dari
rumah. Tetangga ribut melerai. Suara mobil dihancurkan, alarm meraung-raung.
Lalu praaang! Batu terlempar menembus kaca jendela, professor terantuk dan
jatuh di lantai. Betapa pertemuan 24 jam dan terlibat dalam kehidupan seseorang
yang baru dikenal bisa mengubah jalan hidup seseorang dengan drastis.
Lovely Man
Ini film pertama dari Triloginya Teddy Soeriaatmadja yang
saya tonton di Goethe Haus Menteng pada Februari kemarin. Filmnya berkisah
tentang Cahaya (diperankan oleh Raihanun) yang nekat datang dari kampung menuju
Jakarta demi bertemu ayah kandungnya, Ipuy (diperankan oleh Donny Damara). Berbekal
alamat yang dicatatnya di secarik kertas, Cahaya menyusuri gelapnya malam
Jakarta menuju apartemen tempat Ipuy tinggal. Sayangnya Ipuy sedang tidak ada
di tempat. Cahaya dengan jilbab dan rok panjangnya pun berjalan lagi menuju jembatan
tempat Ipuy bekerja. Scene dimana Cahaya akhirnya mengetahui jati diri ayahnya
ini berhasil membuat saya terharu-biru ketika menontonnya. Salah satu hal yang
juga membuat Cahaya kecewa adalah ketika ia mengetahui bahwa bapaknya itu ingin
operasi transgender agar bisa menjadi wanita seutuhnya, menikah dengan
laki-laki yang menjadi pacarnya, dan pindah ke Surabaya.
Namun bagaimanapun juga Ipuy adalah Bapak yang lovely.
Sekesal apapun dia terhadap anaknya yang nekat mengunjunginya ini, Ipuy tetap
memperlakukan Cahaya dengan baik. Pada malam menuju pagi itu ia mentraktir
anaknya makan nasi padang dan mengobrol ke sana ke mari. Di sepanjang jalanan
ibukota yang sepi, mereka berdua saling bercerita tentang kehidupan satu sama
lain; kehidupan Cahaya di kampung, dan kehidupan Ipuy sebagai banci penghibur.
Dari sesi curhat itulah akhirnya terungkap alasan lain mengapa Cahaya datang ke
Jakarta. Ternyata ia tengah hamil di luar nikah dan ingin kabur sejenak dari
pacar yang telah menghamilinya.
Duh, sayangnya saya lupa bagaimana bunyi dialog yang jadi
poin utama dalam film ini. Yang jelas dialognya adalah ketika Cahaya dan Ipuy
duduk berdua di trotoar dengan berlatar belakang halte TransJakarta. Ipuy yang
merasa terganggu karena akhirnya Cahaya mengetahui profesi dan jatidirinya ini
menasehati bahwa terkadang mengetahui kehidupan dan fakta seseorang bisa
menyebabkan sakit hati kalau tak sesuai dengan ekspektasi. #Jleb banget ya? Oya,
sama dengan Like Someone in Love, film Lovely Man ini juga menceritakan
pertemuan dalam jangka waktu yang singkat.
See, korelatifnya dapet banget kan? :”)
Ini baru yang edisi Februari. Di bulan Maret, saya juga
nemuin dua korelasi lagi berdasarkan film dan buku yang saya baca. Tunggu
ceritanya di postingan selanjutnya ya! *wink*
ditunggu postingan selanjutnya! :D
BalasHapusAww thank you Zulaikha!
Hapus*brb ngumpulin tenaga buat nulis kelanjutannya*
Langsung donlot Like Someone in Love. :p
BalasHapusIt's kinda weird, Ki :p
HapusTapi artistiknya dapet banget sih. Jadi bikin pengen jalan siang-siang di Jepang!