Pasung Jiwa - Okky Madasari (Resensi Buku)
“Seluruh hidupku adalah perangkap. Tubuhku adalah perangkap pertamaku. Lalu orangtuaku, lalu semua orang yang kukenal. Kemudian segala hal yang kuketahui, segala sesuatu yang kulakukan. Semua hal adalah jebakan-jebakan yang tertata di sepanjang hidupku. Semuanya mengurungku, mengkungkungku menjadi tembok-tembok tinggi yang menjadi perangkap sepanjang tiga puluh tahun usiaku”. (Halaman 293)
Berbeda dengan novel “Pulang” yang
khusus saya baca ketika naik angkot M11, novel Okky Madasari berjudul “Pasung
Jiwa” ini saya baca ketika naik angkot M11, angkot M24, di kamar kos, bahkan
ketika menunggu di kafe. Bisa dibilang saya membaca novel ini di momen yang
pas, ketika isu LGBT sedang menjadi bahan perbincangan di mana-mana. Memang
isinya tidak sepenuhnya mengangkat isu LGBT, tapi beberapa part tentang Sasana
(tokoh utama laki-laki di novel ini yang berjiwa perempuan) cukup membuat saya
tau lebih dalam tentang kebimbangan yang terjadi.
Novel ini sendiri merupakan karya
ke-dua dari Okky Madasari yang saya baca setelah novel “86”. Tak jauh beda dengan 86, Pasung Jiwa juga
bercerita tentang permasalahan-permasalahan sosial di masyarakat, seperti isu
transgender, PHK buruh pabrik, kehidupan pekerja seks di lokalisasi, bahkan
tentang agama yang membahas tentang laskar-laskar
an. Saya agak ngeri ketika membaca part itu. Kalau saya menjadi penulis
novel, saya mungkin nggak seberani Okky yang menyinggung permasalahan agama.
Jika dirangkum, ada dua tokoh
utama yang menonjol di cerita ini, yakni Sasana dan Cak Jek. Sasana, seperti
yang telah saya singgung sebelumnya, merupakan seorang laki-laki yang
terbelenggu jiwanya akibat tekanan orang tua. Part di awal novel ini menjelaskan
tentang Sasana kecil yang menjalani kehidupan normal layaknya anak kecil yang
taat. Selalu mendapat ranking bagus di kelas, ikut les piano, tak pernah keluar
rumah, dan lain-lain. Bahkan dalam hal selera musik pun ia harus menaati selera
kedua orang tuanya yang menyukai musik klasik, padahal Sasana sendiri sangat
menggemari musik dangdut.
Titik awal ketika Sasana
menyadari bahwa ia ingin menjadi seorang perempuan adalah ketika ia memiliki
adik kecil bernama Melati. Semua ambisinya itu disimpannya sendiri hingga
akhirnya terbongkar bebas ketika kuliah, ketika jarak antara Jakarta-Malang
memisahkan ia dari belenggu kedua orang tua. Sasana berubah menjadi Sasa, yang
selalu menikmati penampilannya di depan orang-orang, yang tak canggung
menggunakan pakaian dan sepatu milik perempuan. Tokoh ke-dua bernama Cak Jek.
Pria yang pandai bicara dan selalu optimistis ini adalah partner ngamen Sasa
selama di Malang. Cak Jek bisa dibilang menjadi manajer yang mengatur
pertunjukan Sasa. Kedua rekan itu menjadi sahabat lekat yang kemudian
terpisahkan ketika mereka pergi berdemo di Sidoarjo.
Sasa tertangkap aparat dan sempat
diperkosa selama tinggal di bui. Pada suatu hari, ia berhasil kabur ke Jakarta
untuk pulang. Namun sayang, traumanya selama mengalami pelecehan seksual yang
amat keji di penjara membuatnya tak tertolong dan mendekami Rumah Sakit Jiwa. Sementara
itu Cak Jek juga mengambil jalan lain. Seusai kabur dari lokasi demo, ia pergi ke
Batam, menjadi buruh pabrik televisi dan tinggal di mess perusahaan.
Di fase kehidupan yang
selanjutnya, Sasana yang sudah keluar dari RS Jiwa kemudian kuliah lagi serta
menjadi artis panggung dimanajeri oleh sang mama. Cak Jek yang tak betah dengan
problematika hidup di Batam memutuskan untuk hijrah ke Jakarta, mencari sesuap
bekal sebelum kemudian pulang lagi ke Malang. Pengembaraannya di ibukota
mempertemukan ia dengan “Laskar Jakarta”, sebuah kelompok beratasnamakan agama
yang berjuang untuk membela kebenaran. Setelah sukses menjadi anggota Laskar
Jakarta, Cak Jek dengan bakat alamiah yakni menjadi pemimpin dan pandai
berbicara membuatnya menjadi pemimpin Laskar ketika berada di Malang.
Di kota kelahirannya itulah ia
mulai menjalani hidupnya kembali sebagai penegak kebenaran. Tugasnya adalah
melakukan inspeksi ke cafe, hotel, maupun tempat-tempat lainnya yang dianggap
menyeleweng dari ketentuan agama. Siapa sangka, pekerjaan inilah yang kemudian
mempertemukannya dengan Sasa, sahabat lamanya, namun dengan cara yang amat tragis.
Part ketika Cak Jek (beserta rombongan) menggerebek Sasa (yang manggung di kafe
ditemani dengan mamanya) merupakan salah satu bagian yang paling tak terlupakan
di novel ini menurut saya. Tapi untungnya kisah ini berakhir dengan happy
ending. Jadi saya jadi tak berlama-lama terlarut dalam cerita gelap di novel
ini. :)
Overall yang paling saya suka dari novel ini adalah plotnya yang
nggak ketebak, alurnya yang rapi, dan permasalahannya yang kompleks namun tak
membingungkan. Isu-isu sosialnya juga dapet banget. Tapi mengenai gaya bahasa,
bisa dibilang I’m not really in to it.
Entahlah apa mungkin karena saya terlalu terbiasa membaca kalimat yang panjang-panjang
ya? Sehingga saya jadi agak jengah kalau baca kalimat yang pendek-pendek. Itu
masalah selera juga sih :P
Yes! wah jadi itu novel Pasung Jiwa-nya Okky Madasari. Pernah pinjam baca bukunya lho tapi gak tau judulnya apa, soalnya sampulnya entah kemana hehe ceritanya memang bagus. Btw salam kenal kak dea :)
BalasHapusHi! Salam kenal juga ya, Ekha :D
HapusWah itu pasti yg punya buku ngga posesif, sampe sampulnya bisa melarikan diri segala, LOL.
Iyaa bagus emang!