Bukan Ombak Untukmu
Jangan tanyakan mengapa aku selalu diam. Jika kamu masih nekat bertanya juga, aku hanya akan menjawabnya dengan "Mengapa ombak selalu bergerak?"
...
Kesunyian
hinggap. Lagi-lagi aku lupa bahwa lelaki di hadapanku ini adalah
penyair kelas tinggi, yang paling pandai berandai-andai, dan mudah
tergelitik oleh pemikiran yang holistik.
Seperti
yang sudah kuduga, tak lama bagimu untuk membuka mulut. Tak jauh
seperti biasanya, akupun bersiap untuk mendengarkan hasil pemikiran lima
detikmu, yang bisa beranak-pinak menjadi presentasi sepuluh menit,
dengan diselingi beberapa teguk kopi pahit.
"Ombak dan kamu sungguh berbeda, wedang jaheku.", katamu sambil menegakkan tubuh di kursi rotan kafe itu.
"Ombak
ditakdirkan untuk bergerak. Kalau tak bergerak, dia hanyalah air laut
biasa. Sedangkan kamu, tidak ditakdirkan untuk berdiam. Seharusnya kamu
bukanlah sebuah air laut biasa. Kamu bisa menjadi ombak, yang dapat
membawa manusia yang terdampar di tengah samudera, dapat selamat hingga
berhasil sampai ke tepian."
"Tapi ombak tak selalu berguna. Dia, berbahaya.", tegasku.
"Lebih berbahaya mana, danau yang dalam, ber-air tenang, atau laut yang dangkal, berombak besar?", sanggahmu.
"Yang lebih berbahaya itu kamu!", ledekku sambil berharap bahwa kita akan menghentikan perdebatan ini.
Kulihat
punggungmu menjauh dari sandaran kursi. Berbalik, dan menuju ke pintu
kayu hijau dengan ukiran antik bertuliskan nama kafe itu. Tak bisa
kucegah. Hingga akhirnya kutemukan kartupos darimu, satu tahun kemudian.
"Apa
kabar? Maafkan aku yang pergi tanpa pesan. Masihkah kau ingat nasehat
dan kata-kataku di kafe pada malam itu? Sesungguhnya aku hanya ingin
kamu menjadi ombak yang menyelamatkanku sampai ke tepi, di tengah-tengah
samudera ketidakjelasan hidupku ini. Namun sepertinya kamu menyerah.
Yasudah, aku pergi."
...
Kutuliskan
cerita ini untuk seseorang yang mengharapkanku untuk dapat memperbaiki
hidupnya. Namun sepertinya, maaf, aku tak bisa. Aku tahu, seharusnya
postingan ini ber-tema-kan surat cinta. Tak menemukan surat cinta pada
postingan ini? Yakin? Ya. Paragraf inilah yang merupakan surat cinta
dariku untuknya.
Tangerang-Jakarta
Ditulis ketika sedang duduk kedinginan di bus kota hingga jari-jari menjadi kaku, kemudian meneruskannya kembali di kubikel, yang juga sedingin perasaan si penulisnya.
7 comments: