Hari Ke-15 : Cerita Cinta di Bawah Naungan Menara 2-3
Mentari
pagi mulai menyapa. Hari ini hari Minggu. Pukul tujuh pagi, Zafira dan ibunya
sudah siap berangkat menuju toko. Tak lupa ia berpamitan kepada Abah.
“Nduk, ibu mau ke kiosnya Haji Abdullah dulu
ya, ada barang yang mau diambil. Kamu tolong jaga toko dulu. Ibu nggak
lama-lama kok”, pesan ibu.
“Baik Bu”, ucapnya.
Ketika
sedang sibuk membereskan barang dagangan, datanglah seorang pembeli.
“Permisi Mbak”
“Oh iya silahkan. Monggo dipilih”
“Lho, Mbak bukannya yang tadi pagi ketemu
saya di masjid itu ya?”
“Iya, saya juga masih ingat. Hahahaha.
Silahkan mau beli apa, Mas?”
“Saya mau beli jenang. Satu kilo saja buat
oleh-oleh ibu di rumah”.
“Oh memang asli mana masnya?”, Kata
Zafira sambil menimbang jenang.
“Saya asli Jepara situ kok”
“Owalah deket situ tho”
“Iya. Kapan-kapan saya mampir lagi boleh?”
“Monggo, silahkan saja”.
Dan
percakapan itu pun mengakhiri pertemuan mereka.
***
Tiga
bulan telah berganti. Kali ini Zafira juga sedang menjaga toko sendirian.
Kemudian datanglah lagi laki-laki itu.
“Assalamualaikum”
“Waalaikusalam. Owalah masnya datang lagi tho”
“Iya, haha masih ingat saja”.
“Pasti lah. Mau beli apa, Mas?”
“Saya nggak ingin beli apa-apa hehe. Saya
cuma mau menanyakan sesuatu”
“Oh silahkan mau tanya apa, Mas?”
“Saya boleh khitbah dengan adek tidak? Mohon
maaf sebelumnya kalau saya lancang”
Zafira
pun terkejut mendengar pertanyaan laki-laki itu. “Kami bahkan belum saling tahu
nama masing-masing. Bagaimana bisa? Laki-laki itu sepertinya baik sih, dari
fisiknya pun tampan. Tapi, apa yang harus aku katakan kepada Abah dan Ibu
nanti?”, gumam Zafira dalam hati.
“Waduh, saya sih endak keberatan. Tapi
mungkin saya perlu izin dari Abah dan Ibu dulu, Mas. Mohon maaf ya”
“Oh iya nggak papa, Dek. Saya tunggu kabar
selanjutnya ya. Mari, Wassalamualaikum”
“Iya Waalaikumsalam. Hati-hati ya, Mas”.
***
Sesampainya
di rumah, Zafira semakin gundah. Ia takut dengan apa jawaban yang akan
diberikan Abah nantinya. Namun, ia juga tak bisa membiarkan rahasia ini
tersimpan sendirian.
“Abah, Ibu, ada yang ingin Zafira bicarakan”.
Kemudian
Zafira menjelaskan tentang niat dari lelaki yang dikenalnya di masjid itu. Niat
untuk ber-khitbah. Niat untuk
menjalani hubungan antara dua insan ke jenjang yang lebih serius, dengan cara
yang islami. Cukup lama Ibu dan Abah berfikir untuk menjawab pertanyaan Zafira
itu. Sedangkan Zafira, hanya bisa menunduk memandangi lantai marmer rumahnya
sambil menggoyang-goyangkan kakinya pertanda gelisah. Setelah menunggu agak
lama, Abah pun memulai bersuara.
“Kamu itu anak perempuan satu-satunya Abah.
Abah sih kepengennya kamu itu ya nanti menikahnya sama laki-laki yang jelas
keluarganya. Bukan sama orang yang nggak dikenal semacam dia itu”. Zafira
pun hanya diam melanjutkan jawaban Abahnya. Tapi Abah tak juga melanjutkan
perkataannya. Kini giliran Ibu yang menjawab perkataannya.
“Iya Za. Lebih baik kamu itu menikahnya sama
anaknya Haji Abdullah itu saja lho. Keluarga kita kan sudah kenal dekat dengan
keluarga mereka. Lagipula Nak Amir itu kan sudah mapan. Sudah percayakan saja
jodohmu itu sama Abah dan Ibuk. Buktinya itu kakakmu. Dia bahagia-bahagia saja
waktu ibu jodohkan dengan Nak Asmira”.
Zafira
pun hanya bisa pasrah. Tradisi perjodohan itu memang sudah turun-temurun
terjadi di keluarganya. Tak hanya di keluarga Zafira, bahkan keluarga dari
kakak dan adik dari Abah dan Ibu-pun menerapkan cara yang serupa. Ia hanya bisa
berdoa agar Mas Amir itu dapat membahagiakan dirinya. Meskipun Zafira sendiri
belum pernah bertemu dengan laki-laki yang telah dijodohkan dengan dirinya.
Bersambung : Cerita ke-2 dari 3 cerita :
0 comments: