Hari Ke-14 : Cerita Cinta di Bawah Naungan Menara 1-3
Bulan
masih menggelantung ketika mata-mata yang terpejam mulai berangsur tersadar. Fajar
di kaki Gunung Muria yang dingin, menggelayut seakan-akan merantai diri untuk semakin
menaikkan selimut. Kaki-kaki mungkin akan malas beranjak pergi, namun kumandang
adzan tak akan mampu melawan hasrat rindu.
Rindu kepada Sang Khalik, rindu paling mulia dari beragam jenis rindu yang
pernah dirasakan oleh manusia.
“Nduk, ayo nduk ndang tangi. Sholat subuh
berjamaah itu pahalanya setara haji dan umroh lho. Kamu endak malu apa sama Kanjeng Sunan Kudus. Orang Kudus kok sholatnya
males-malesan!”.
“Nggih, nggih Bu. Sebentar. Saya ambil
wudlu dulu”
Teriakan
Ibu membuyarkan lelap tidurnya. Bergegas ia lawan kantuk dan menuju ke sumur
belakang untuk mengambil air wudlu. “Ah segarnya! Subhanallah nikmatnya bangun
pagi”, serunya seraya memakai mukena bermotif bunga-bunga kesukaannya.
Gadis
delapan belas tahun itu bernama Zafira. Nama yang cantik, kata orang-orang.
Paras tubuhnya pun tak kalah cantiknya. Ia masih keturunan Arab-Jawa. Kulitnya
putih bersih, matanya bening menawarkan keteduhan, hidungnya mancung, selaras dengan dagunya
yang lancip memanjang. Postur badannya tinggi semampai, didapatkan dari ayahnya
yang berketurunan Arab, dan wajahnya yang kalem didapati dari ibunya yang masih
keturunan Jawa ningrat. Ia anak bungsu di keluarganya. Kakak laki-lakinya
sedang menempuh pendidikan S-2 di Semarang. Ia sendiri masih duduk di kelas
tiga SMA. Kegiatan sehari-harinya adalah bersekolah dan membantu ibunya
berjualan di toko. Ibunya adalah pemilik toko oleh-oleh terbesar yang ada di
kawasan Menara Kudus, salah satu tempat wisata yang paling terkenal di Kota
Kudus. Di toko itu disediakan bermacam-macam jenis jenang (makanan kecil khas
Kudus), tasbih, kopiah, buku-buku mengenai sejarah menara kudus, gantungan
kunci, kaos, dan beragam jenis oleh-oleh lainnya.
Pendidikan
agama yang kental, sudah ditanamkan oleh keluarganya sejak anak-anaknya masih
kecil. Tak heran kalau tradisi shalat berjamaah di masjid dianggap sebagai hal
yang penting. Kebetulan jarak rumah mereka dengan Masjid Al-Aqsa atau yang
lebih dikenal sebagai Masjid Menara Kudus, tak terlalu jauh. Hanya sekitar dua
ratus meter dengan menempuh jalan paving.
Dari
ber-ribu-ribu fajar yang dihabiskan Zafira untuk shalat berjamaah di masjid
itu, mungkin fajar itulah yang paling bersejarah baginya. Teras masjid itu
menjadi saksi, ketika kaki-kaki yang telanjang dan suci, mulai menapaki
tangga-tangga menuju kemuliaan tertinggi. Kemuliaan dimana malaikat mengamini
semua doa mereka di hadapan Tuhan Yang Maha Kaya.
Fajar
itu Zafira berangkat ke masjid seperti biasanya. Abah dan ibunya sudah
berangkat terlebih dahulu. Suara adzan telah selesai berkumandang. Ia-pun
mempercepat langkah kakinya menuju tempat shalat khusus wanita. Di masjid itu,
tempat laki-laki dan perempuan dipisahkan dengan jarak yang agak jauh. Bagian
masjid utama hanya diperuntukkan bagi jamaah laki-laki, sedangkan jamaah
perempuan harus berjalan melewati gang di sisi kanan masjid untuk dapat mencapai
lokasi shalat berjamaah. Kemudian datanglah sesosok laki-laki yang
menghampirinya dengan terburu-buru juga.
“Assalamualaikum.
Maaf Mbak, saya mau tanya. Tempat wudlu untuk pria-nya dimana ya? Saya baru
pertama kali ini kesini”, kata pria itu menghentikan langkah kakinya.
“Waalaikumsalam.
Oh, itu disana Mas tempat wudlunya”, jawabnya sambil menunjuk ke arah kiri
masjid.
“Oh
baiklah. Makasih ya, Mbak”, katanya Pria misterius itu.
Zafira
pun melanjutkan langkahnya menuju tempat shalat. Iqomat sudah berkumandang
pertanda imam akan memulai memimpin para jamaah shalat subuhnya.
“Ah
laki-laki tadi, lumayan juga tampangnya. Astagfirullahaladzim, maafkan aku Ya
Allah. Ah sudah-sudah. Mengganggu konsentrasi shalat subuhku saja”, gumam
Zafira.
Ia
segera menggelar sajadah, merapatkan barisan shalat, membaur bersama jamaah
lainnya. Kali ini ia shalat terpisah dengan ibunya.
Bersambung : Cerita ke-1 dari 3 :
0 comments: