Cerpen Horor Pertamaku
Gara-gara
efek twitter, akhir-akhir ini aku jadi sering melek malem. Daripada nggak ada
kerjaan, biasanya sih aku ikutan nulis flash
fiction kayak @fiksimini ataupun @hororhore. Dan memang, seringnya kontes
menulis mini-minian itu adanya ya pas tengah malem. Mungkin karena inspirasi
buat penulis itu datengnya pas tengah malem kali ya.
Kalau
fiksimini, aku sih nggak begitu jago sebenernya. Udah meres otak sampe
segimanapun juga hasil tulisanku kayak gitu-gitu aja. Aku sih lebih suka nulis
di hororhore. Flashfiction yang
mengusung tajuk : bergidik dalam tiga detik ini, sepertinya lebih pas kalo buat
orang seperti aku yang lebih suka baca novel ber-genre misteri dan psikologi kayak serial Hannibal Lecter-nya Thomas
Harris. Awalnya sih pertama kali baca novelnya Thomas Harris waktu jaman kelas
2 SMA di perpustakaan sekolah judulnya Red Dragon, dan sejak saat itu aku jadi suka sama jalan
cerita sang psikopat yang misterius. Asal bisa bawa diri aja deh, jangan sampe
masuk ke dalam ceritanya dan berubah menjadi psikopat beneran :D Oya founder
hororhore ini orang Semarang loh, yaitu Mas Garna Raditja.
Lagi
suka-sukanya nulis genre horror, eh ternyata @Kancutkeblenger, komunitas
blogger yang didirikan oleh Kak Irvina Lioni ini ternyata agi bikin kontes
nulis juga. Sebenernya sih kontes nulisnya udah ditutup awal November kemarin.
Tapi berhubung yang nulis genre horror, friendship, sama family masih dikit,
akhirnya kontesnya diperpanjang sampe 10 November :D lucky me.. Ini
cerpen horror pertamaku. Hehehe. Maaf yaa kalo aneh :P Selamat membacaa!
Attention!
Latar dan tokoh di cerita ini adalah fiksi belaka. Tempat dan cerita kejadian
bukanlah merupakan suatu legenda. Sebelum membaca, disarankan membaca
bismillah, ambil nafas yang panjaaaang daaaaan yak! Lomba dayung segera
dimulai! Selamat menikmati alur seram cerita ini. Kanan! Kiri! Kanan! Kiri!
Sneak a Peak :
FESTIVAL DAYUNG YANG MENGASYIKKAN
“Selamat
Datang di Festival Dayung Telogo Jiwo Tahun 2012”. Sebuah spanduk besar
terpampang di gapura desa yang berhawa dingin di ujung utara Jawa Tengah. Di
desa itu, festival dayung diselenggarakan setiap satu tahun sekali. Lomba
dayung tahunan itu dilaksanakan pada malam satu suro. Malam yang dikenal sebagai malam keramat, terutama bagi
masyarakat Jawa. Namun, karena sudah dilaksanakan secara turun-temurun dari
tahun ke tahun, acara ini pun tetap terlaksana, meskipun seringkali dalam
pelaksanaannya banyak kejadian aneh yang meliputinya.
Danau
Telogo Jiwo adalah tempat untuk melaksanakan festival ini. Meskipun letaknya
yang terpencil dan akses jalannya sulit untuk dilalui, puluhan tim selalu
antusias untuk mengayuh dayung di danau ini. Terletak di kawasan Gunung Muria,
salah satu dataran tinggi di Karesidenan Pati, hawa seram dan mistis pun kerap
kali hadir menyelimuti peserta lomba. Bagaimana tidak? Di danau Telogo Jiwo
itu, dulunya terdapat sebuah cerita horor yang sampai saat ini masih dipercaya.
Danau buatan ini dulunya dibangun oleh Pemerintah Belanda pada awal tahun
60-an, ketika kawasan ini dilanda bencana kekeringan. Kabarnya, banyak pekerja
yang meninggal pada saat proses pembuatan danau ini. Selain itu, ada pula yang
meninggal pada saat mengikuti lomba dayung. Aku pun tak menghiraukan cerita itu
sampai pada suatu ketika, Kakekku sendiri yang menceritakannya.
“Ati-ati yo Nang, ning telogo kuwi, mbiyen
ono bocah lanang sing mati goro-goro melu lomban dayung. Kowe ning kono ora
usah macem-macem”, Pesan Kakekku dengan nada khawatir. Yang artinya: “Hati-hati
ya Nak, di telaga itu, dulunya ada anak laki-laki yang mati gara-gara ikut
lomba dayung”.
“Ah,
tenang saja Kek. Aku akan baik-baik saja”, kataku dengan lantang.
“Oh
iya Kek. Aku disini jadi kapten tim. Doakan menang ya?”, tambahku.
Mendengar
kata kapten tim, tampaknya semakin bertambah rasa khawatir kakek. Ada cerita
yang masih disembunyikan tanpa aku harus tahu. “Mungkin kakek hanya tak mau aku
merasa takut sebelum aku menyelesaikan lomba ini”, hiburku dalam hati.
Sore
itu aku berangkat dengan tim dari SMA Harapan Bangsa dengan menggunakan bus
sekolah. Setelah tiba, bus kami diparkir di halaman balai desa setempat. Memang
danau itu hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Itupun gelap gulita karena
tak ada lampu penerangan jalan. Semak belukar dan tanah yang licin karena hujan
semakin menyulitkan kami untuk mencapai lokasi dengan tepat waktu. Belum-belum
kami sudah ketakutan karena kabut sisa hujan seharian semakin menebal. Aryo dan
Dimas, anggota timku yang paling penakut pun dibuat merinding oleh suasana horor
ini. “Lang, pulang aja yuk. Aku kebelet pipis nih”, rengek Aryo. “Iya Lang, aku
juga nih. Ngeri banget sih tempatnya. Tau gini aku nggak usah ikut deh hiiii”,
tambah Dimas. Akupun yakin, sebenarnya kami bertujuh ini semuanya ketakutan,
tapi sebagai kapten tim, tentu saja aku ber-akting seakan-akan tak takut
apa-apa.
Tiba-tiba,
gubrakkk! Dino yang bertubuh gembul jatuh tersungkur. “Hati-hati dong makanya.
Jelas-jelas ada batu. Kok masih aja ditendang? Bikin kaget aja kamu!”,bentak
Aryo. “Eh tung-gu tung-gu tte te-man ttte-man”, kata Dimas dengan terbata-bata.
“Iiii tu, i-tu bbu bukan bba bba-tu, ta tta-pi, kke ke-pa kke-pa-la”, sambung
Dimas. “Hah? Kepala?!”, kami ber-enam kompak ternganga. Sontak kami berlari
gonjang-ganjing tanpa memerdulikan semak belukar yang ada. Dan kami pun
akhirnya sampai di tempat tujuan dengan lengkap, meski tetap dihantui oleh
perasaan takut setelah perjalanan mengerikan tadi.
Acara
diawali dengan ritual doa bersama. Setelah itu dilanjutkan dengan sambutan dari
Bapak Bupati. Baru setelah itu, lomba dayung dimulai. Kami pun bersiap dengan
kaos berwarna merah dengan tulisan “Harapan Jaya” di belakangnya. Iya, itulah
seragam kebanggaan tim kami. Aku dan timku sudah bersiap sejak semenit yang
lalu di atas perahu kayuh yang dibuat sederhana dari kayu, beserta dayung yang
juga terbuat dari kayu, masing-masing di tangan. Sayup-sayup kudengar Bapak
Bupati meneriakkan kata-kata motivasi, dan yak! Suasana menjadi gelap!Llistriknya
mati Saudara-saudara!
Penonton
lomba yang didominasi oleh ibu-ibu dan anak-anak perempuan pun menjerit-jerit
ketika acara yang tadinya terang benderang oleh lampu-lampu warna-warni,
mendadak menjadi gelap gulita.”Hidupkan gensetnya!!!”,seru Pak Bupati kepada
panitia lomba. Aku dan timku yang sudah siap di atas perahu-pun saling
berpegangan dan mengucap doa sekedarnya. “Tuhan, kejadian apa lagi ini yang
akan terjadi?”,rintih Dino yang masih terbayang-bayang ketika tersandung oleh hantu
kepala misterius tadi.
Sepuluh
menit kemudian, genset berhasil dinyalakan. Lampu hias warna-warni pun mulai
berpendar kembali, menerangi di setiap sudut area lomba. Hanya panggung tempat
Bapak Bupati berpidato lah yang nampak agak berbeda. Lampu neon berukuran satu
meter sebanyak tiga buah itu berhasil membuat pria nomor satu di Kabupaten ini
tampak paling mencolok. “Alhamdulillah”,seruku mengucapkan syukur ketika lampu
kembali menyala. “Ayo kita bersiap Super Team!”,aku mencoba untuk menyemangati
teman-teman setimku. “Iya”,jawab mereka. “Hei kenapa lemas sekali? Seperti
bukan manusia saja kalian ini! Ayo semangat dong!”,seruku kembali.
Aku
tak terlalu menghiraukan mereka dan berfokus untuk mendengarkan aba-aba Bapak
Bupati dari kejauhan. “Sial. Kenapa kita dapat jatah yang paling pinggir
ya?”,rutukku. “Bersiaaaap. Satu, dua,
tiga, yak!”,suara lelaki tua itu terdengar jelas di telingaku. Dan kemudian
suara kanan!, kiri!, kanan!, kiri!, mulai diteriakkan oleh masing-masing tim
untuk mensinkronkan gerakan antara pendayung yang ada di sebelah kanan dengan
pendayung di sebelah kiri. Suara riuh penonton yang menyemangati membuatku
semakin bersemangat.
Tak
terasa perahu kami sudah melewati batas seperempat danau. Itu artinya, tinggal
tiga perempat perjalanan lagi dan tim kami akan sampai di garis finish. Karena
penasaran, kutengok tim-tim yang lain. “Ternyata tim kita berada di urutan
paling depan teman-teman”,sontakku girang. “Ayo lebih kencang lagi
mendayungnya!”,seruku kepada mereka. “Aku bahkan tak tahu lagi tangan kiriku
hilang dimana”,kudengar sepertinya Dimas yang mengatakan hal itu dengan mulut
yang menggumam. “Ah jangan bercanda di saat yang seperti ini kamu Dim”,kataku
sambil tak menghiraukannya.
Ketika
separuh perjalanan terlampaui, aku baru menyadari bahwa teman-temanku telah
berganti kostum. Maklum, sebagai kapten tim, aku berada di ujung depan perahu.
Dan keenam anggota tim berada di belakangku. Dan ketika aku menengok, “Lho, kok
kalian pakai seragam yang warna hijau? Bukannya tadi kita pakai yang warna
merah ya?”,tanyaku kepada mereka. “Dan.. dan kenapa seragam kalian bertuliskan
SMA Unggul Jaya? Bukan Harapan Jaya?”,tanyaku semakin mencurigai mereka. “Ah
ini..tadi seragam kami basah ketika sebelum mulai lomba. Jadi kami pinjam
kostum saja ke tim yang lain”, kata salah satu diantara mereka. “Ooh, begitu tho”,akupun lega mendengar penjelasan
mereka.
Hawa
dingin dan seram mulai menyergapku, dan tiba-tiba terdengar suara laki-laki paruh
baya yang merintih seakan meminta pertolongan. “Tolong aku Mas. Tolong aku”.
Suaranya berasal dari belakang punggungku. Dengan memberanikan diri, aku
menengok ke belakang. Dan ternyata, yang tadinya perahu ini kami naiki
bertujuh, sekarang tidak ada siapa-siapa melainkan aku sendirian di atasnya. “Jadi
tadi itu?! Aaaaaa!”,aku berteriak ketakutan. Tim lain pun menghentikan
perahunya ketika mendengarku berteriak.
Dari kejauhan kulihat penonton dan
teman-teman setimku meneriaki-ku dari garis start. Ternyata teman-temanku masih
ada disana, mengenakan seragam tim berwarna merah. Dan barulah aku menyadari
kalau sedari tadi, aku mendayung bersama tim Unggul Jaya. Tim yang kabarnya
tewas karena tenggelam ketika mengikuti lomba ini sekitar puluhan tahun yang
lalu. Aku pun semakin bergidik ngeri. Kemudian datanglah kapal boats menjemputku di tengah-tengah
danau, meninggalkan perahu kayu beserta dayung-dayungnya disana. Sesampainya di
daratan, kupeluk teman-teman beserta guru pendampingku satu per satu. “Aku
takut sekali, kalian menghilang kemana?”,tanyaku sambil merintih ketakutan. “Lho
kan kami tadi disuruh kumpul ke dekat panggung ketika listrik mati Lang. Kami
sudah manggil-manggil kamu. Tapi kamunya masih tetep di atas perahu”,bela Aryo.
Sesampainya
di rumah, kuceritakan kejadian mengerikan ini kepada kakekku. Air mata beliau
kemudian menetes. Dan barulah aku tahu, kalau yang meninggal disana puluhan
tahun yang lalu adalah… ayah kandungku.
2 comments: